
Siapa
yang tak kenal Soekarno? Sosok pemimpin kharismatik Republik Indonesia yang
bergelar proklamator ini telah banyak mengharumkan nama bangsa dengan berbagai
prestasi yang dimiliki. Berbagai gebrakan dan langkah ekstrim pun telah sering
beliau lakukan untuk mengaitkan merah putih di ujung angkasa.
Dengan semboyan
“BERDIKARI” beliau telah sukses menjadikan bangsa ini menjadi bangsa yang bermartabat
dan disegani oleh dunia.
Lalu
siapa sebenarnya Soekarno?
Ir. Soekarno yang
yang biasa dipanggil Bung Karno lahir di Surabaya, 6 Juni 1901 dari
pasangan Raden Soekemi Sosrodihardjo dengan Ida Ayu Nyoman Rai.
Semasa kecil Ir.
Soekarno pernah tinggal bersama orang tuanya namun hanya sebentar dan
memutuskan untuk tinggal dengan kakeknya, Raden Hardjokromo
di Tulung Agung . itu pun tak
berlangsung lama hingga ia memutuskan untuk tinggal kembali dengan kedua orang tuanya
di Mojokerto. Di Mojokerto, ayahnya memasukkan Soekarno
ke Eerste Inlandse School.
Di
tahun 1911, Soekarno dipindahkan ke Europeesche Lagere School (ELS) untuk
memudahkannya diterima di Hoogere Burger School (HBS).
Setelah
lulus pada tahun 1915, Soekarno melanjutkan pendidikannya di HBS, Surabaya,
Jawa Timur. Di Surabaya, Soekarno banyak bertemu dengan para tokoh dari Sarekat
Islam, organisasi yang kala itu dipimpin oleh HOS Tjokroaminoto yang juga
memberi tumpangan ketika Soekarno tinggal di Surabaya.
Dari
sinilah, rasa nasionalisme dari dalam diri Soekarno terus menggelora. Di tahun
berikutnya, Soekarno mulai aktif dalam kegiatan organisasi pemuda Tri Koro
Darmo yang dibentuk sebagai organisasi dari Budi Utomo. Nama organisasi
tersebut kemudian Soekarno ganti menjadi Jong Java (Pemuda Jawa) pada 1918.
Sejak saat itu kemampuan Soekarno dalam bidang olah kata mulai terasah. Bahkan
dari suatu sumber pernah dikatakan bahwa Soekarno lebih sering diminta untuk
mengisi berbagai acara yang bernuansa nasionalisme daripada sang guru,
Tjokroaminoto.
Di
tahun 1920 seusai tamat dari HBS, Soekarno melanjutkan studinya ke Technische
Hoge School (sekarang berganti nama menjadi Institut Teknologi Bandung)
di Bandung dan mengambil jurusan teknik sipil. Saat bersekolah di Bandung,
Soekarno tinggal di kediaman Haji Sanusi yang merupakan anggota Sarekat Islam
dan sahabat karib Tjokroaminoto. Melalui Haji Sanusi, Soekarno berinteraksi
dengan berbagai tokoh besar, seperti Ki Hajar Dewantara, Tjipto Mangunkusumo
dan Dr Douwes Dekker, yang saat itu merupakan pemimpin organisasi National
Indische Partij.
Pada
tahun 1926, Soekarno mendirikan Algemene Studie Club di Bandung yang
diinspirasi dari Indonesische Studie Club (dipimpin oleh Dr Soetomo). Algemene
Studie Club merupakan cikal bakal berdirinya Partai Nasional Indonesia
pada tahun 1927.
Bulan
Desember 1929, Soekarno ditangkap oleh Belanda dan dipenjara di Penjara Banceuy
karena aktivitasnya di PNI. Pada tahun 1930, Soekarno dipindahkan ke penjara
Sukamiskin. Dari dalam penjara inilah, Soekarno membuat pledoi yang fenomenal,
Indonesia Menggugat. Soekarno dibebaskan pada tanggal 31 Desember 1931. Pada
bulan Juli 1932, Soekarno bergabung dengan Partai Indonesia (Partindo), yang
merupakan pecahan dari PNI.
Soekarno
kembali ditangkap oleh Belanda pada bulan Agustus 1933 dan diasingkan ke
Flores. Karena jauhnya tempat pengasingan, Soekarno hampir dilupakan oleh
tokoh-tokoh nasional lainnya.
Namun
semangat Soekarno tetap membara seperti tersirat dalam setiap suratnya kepada
seorang Guru Persatuan Islam bernama Ahmad Hasan. Pada tahun 1938 hingga tahun
1942 Soekarno diasingkan ke Provinsi Bengkulu. Soekarno baru benar-benar bebas
setelah masa penjajahan Jepang pada tahun 1942.
Selepas
masa penjajahan Jepang Soekarno masih tetap gigih membangun Indonesia. Soekarno
sendiri mulai aktif mempersiapkan kemerdekaan Indonesia, di antaranya adalah menjadi
tonggak dalam perumusan Pancasila, UUD 1945 dan dasar-dasar pemerintahan
Indonesia termasuk merumuskan naskah proklamasi Kemerdekaan.
Segala
usaha yang dilakukan Soekarno tidak bisa dikatakan mulus. Beragam tantangan
harus ia hadapi hingga tiba suatu masa dimana ia memilih untuk keluar dari PBB
dan mendirikan kedaulatannya sendiri. Tak sampai di sana, puncaknya pemberontakan
G30S/PKI yang melahirkan krisis politik hebat di Indonesia menyebabkannya harus
menyerah dan turun tahta dari kekuasaannya sebagai presiden. Akibat dari ulah
PKI tersebut menimbulkan ketidakstabilan kondisi politik di Indonesia. Massa
dari KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) dan KAPI (Kesatuan Aksi Pelajar
Indonesia) melakukan aksi demonstrasi dan menyampaikan Tri Tuntutan Rakyat
(Tritura) yang salah satu isinya meminta agar PKI dibubarkan.
Namun,
Soekarno menolak untuk membubarkan PKI karena menilai bahwa tindakan tersebut
bertentangan dengan pandangan Nasakom (Nasionalisme, Agama, Komunisme). Sikap
Soekarno yang menolak membubarkan PKI dan teguh mempertahankan prinsip NASAKOM
hingga akhir hidupnya kemudian melemahkan posisinya dalam politik. Lima bulan
kemudian, dikeluarkanlah Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) yang
ditandatangani oleh Soekarno dimana isinya merupakan perintah kepada Letnan
Jenderal Soeharto untuk mengambil tindakan yang perlu guna menjaga keamanan
pemerintahan dan keselamatan pribadi presiden.
Surat
tersebut lalu digunakan oleh Soeharto yang telah diangkat menjadi Panglima
Angkatan Darat untuk membubarkan PKI dan menyatakannya sebagai organisasi
terlarang. MPRS pun mengeluarkan dua Ketetapannya, yaitu TAP No IX/1966 tentang
pengukuhan Supersemar menjadi TAP MPRS dan TAP No XV/1966 yang memberikan
jaminan kepada Soeharto sebagai pemegang Supersemar untuk setiap saat bisa
menjadi presiden apabila presiden sebelumnya berhalangan.
Pada
22 Juni 1966, Soekarno membacakan pidato pertanggungjawabannya mengenai
sikapnya terhadap peristiwa G30S. Pidato pertanggungjawaban ini ditolak oleh
MPRS hingga akhirnya pada 20 Februari 1967 Soekarno menandatangani Surat
Pernyataan Penyerahan Kekuasaan di Istana Merdeka.
Hari
Minggu, 21 Juni 1970 Presiden Soekarno meninggal dunia di RSPAD (Rumah Sakit
Pusat Angkatan Darat) Gatot Subroto, Jakarta. Presiden Soekarno disemayamkan di
Wisma Yaso, Jakarta dan kemudian dimakamkan di Blitar, Jawa Timur berdekatan
dengan makam ibundanya, Ida Ayu Nyoman Rai. Pemerintah kemudian menetapkan masa
berkabung selama tujuh hari.
0 komentar:
Posting Komentar